SELAMAT DATANG DI HALAMAN KAMI


Selamat datang di Akun kami, Semoga dapat bermamfaat bagi kita semua

Minggu, 01 Juni 2014

Catatan Pagi Jum'at



Jum’at, 19 sya’ban 1434 H

 
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Nabi Muhammad saw adalah utusan-Nya.

Pagi yang cerah itu aku bangun dengan rasa penuh kebahagiaan yang menyesakkan dadaku, dengan segudang keinginan dan harapan, namun ketakutan dalam hatiku mulai muncul hingga membuatku berbalik arah, karna aku takut rasa itu membuatku jadi lupa dan kufur kepada ALLAH, lalu kulumuri otakku dengan nafsu dan kubalut tubuhku dengan dosa, kata-kata istigfarpun mengalir dari hati dan lisanku, perasaan akan dosa-dosa kembali berbalut dengan hidupku yang membuatku tak mau berpaling kepada siapapun selain dari memohon ampunan, keridhoan dan Rahmat dari Allah swt.
Diruang tamu dekat jendela aku mulai melihat dan merasakan nyawaku setiap hembusan nafasku berkurang sedikit demi sedikit, sendi-sendi nadi berhenti, jangtung berdetup dan hati mulai bergetar, saat itu kulihat dua matahari, satu yang bersinar nyata dan satu lagi bersinar nyata di depanku. Matahari yang dihadapanku mendekat dan masuk dalam kelopak mataku, seluruh badanku kedinginan, saat itu pula aku merasakan dadaku sejuk yang sangat luar biasa laksana hujan salju yang turun dinegeri yang tandus.

Sejenak kupandangi cermin kecil yang ada dihadapanku, tak ada yang berubah hanya sekelumit tentang masa gelap yang terbayang, dalam dadaku hanyalah kesunyian yang terus bernyayi riang, kadang tertawa terbahak-bahak, kadang aku tak tau bahasa-bahasa yang tersirat.aku hanya menghela lafas dan memuji Maha Suci Engkau Ya Allah, Ya Tuhan Ku.

Terlalu banyak waktu yang terlewati dengan perbuatan menuruti hawa nafsu dan syahwat, bahkan sampai saat ini aku masih berjalan dalam perjalanan menipu diri dan menganiaya serta berbuat zholim kepada diriku sendiri. Untaian kata-kata nasehat dan bijak sana dari kabu mengalir laksana mata air yang membuat sungai kehidupan yang berakhir pada sebuah muara, banyak nasehat-nasehat suci itu ku abaikan bahkan hanya menjadi sebuah nyayian dipagi hari dan petang untuk menunggu nafas terakhirku. “ Ya Allah, jika bukan karna ampunan dan rahmat-Mu tentu aku akan berjalan tersesat dan buta di bumi kehidupan-Mu dan akan lebih tersesat lagi di Negeri Akhirat-Mu, berilah petunjuk jalan yang benar dan Engkau Ridhoi kepada kami ”.

Baca Juga : 

Cinta Kepada Allah



Jum’at, 19 sya’ban 1434 H
 
Oleh : Imam Al-Ghazali ra
Bagian I



Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Nabi Muhammad saw adalah utusan-Nya.


Kecintaan kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang bahaya-bahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah di hati manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik yang diperlukan untuk itu.

Penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu bahwa kecintaan kepada Allah mesti menaklukkan hati manusia dan menguasainya sepenuhnya. Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasainya sepenuhnya, maka hal itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di dalam hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencitai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekedar ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya.

Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: “Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya.” Dan Nabi saw. Bersabda, “Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar.” Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: “Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?” Allah menjawabnya, “Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?” Maka Ibrahim pun berkata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”

Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; “Ya Allah, berilah aku kecintaan kepadaMu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintaiMu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cintaMu. Jadikanlah cintaMu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan.” Hasan Basri seringkali berkata: “Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya.”

Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indera kita. Masing-masing indera mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga  (Bersambung Hal. 2 )


Kisah Maryan yang Senantiasa Menjaga Kehormatannya



Sepanjang hidupnya, Ibu Nabi Isa ini selalu berpuasa, shalat dan berzikir. Ia juga selalu bersabar dan menjaga kehormatan. Wafatnya di iringi arak-arakan Malaikat.


Ia lahir dari sepasang suami-istri yang saleh di kalangan Bani Israel. Mereka bernama Hannah binti Faqudz dan Imran bin Matsan. Bertahun-tahun mereka berumah tangga, tapi belum juga dikaruniai keturunan. Usia meraka pun makin lanjut. Iradat Allah tampaknya belum mengizinkan pasangan saleh ini memiliki anak yang dapat menghiasi kehidupan rumah tangga mereka.

Mereka selalu berdoa, seolah tiada satu detikpun terlewatkan. Hannah bahkan bernazar akan menyedekahkan anaknya, jika lahir, ke Baitulmaqdis – sekarang bernama Masjidil Aqsa. Allah SWT rupanya mengabulkan doa Hannah, ia merasakan ada janin yang bergerak di dalam rahimnya. Wajahnya pun mulai berseri dan senyumnya mulai mengambang.
Kabar gembira ini ia sampaikan kepada sang suami, Imran, namun dihari-hari penantian lahirnya si jabang bayi, Imran meninggal dunia sehingga kebahagiaan Hannah berubah menjadi kesedihan.

Setelah masa Iddah selesai, Hannah kedatangan tamu istimewa, Nabi Zakaria bin Barkhaya AS bersama Isya, istrinya. Mereka menghibur dan memberi nasehat kepada Hannah sehingga bisa menerima takdir itu dengan lapang dada dan ikhlas
Bayi yang ditunggu itu pun lahir, berkelamin perempuan dan diberi nama Maryam, yang bermakna Ibadah. Kenyataan itu mengkhawatirkan Hannah bila teringat nazarnya. Namun ia berusaha menepis kekhawatiran itu dengan bersimpuh kepada Allah agar putrinya mampu bekerja di Baitulmaqdis dengan tulus dan menjadi anak ahli ibadah.

Dengan berselimut kain, Hannah membawa Bayi Maryam ke Baitulmaqdis dan menempatkannya di kuil untuk memenuhi nazarnya. Para pendeta di kuil itu, yang berjumlah tiga puluh orang, saling berebut ingin melihat bayi anak Imran, pemimpin mereka. Ketika itulah Zakaria mengemukakan kepada para pendeta, dia lebih berhak mengasuh bayi itu, karena istrinya adalah bibi Maryam. Ternyata hal itu ditolak oleh pendeta yang lain. Perselisihan pun memuncak. Pada akhirnya, Zakaria memenangkan hak memelihara Maryam setelah ia berhasil memenangkan undian. Mereka melemparkan Pena ke Sungai. Barangsiapa yang penanya terapung, dialah yang berhak memelihara dan mengasuh Maryam.
Zakaria kemudian membawa Maryam ke dalam kamar khusus di kuil itu, setelah di hias serapi mungkin sebagai tempat beribadah.

Maryam tumbuh dewasa dalam asuhan Zakaria. Ia melaksanakan tugasnya sebagaimana yang dicita-citakan orang tuanya sepanjang hidupnya. Sampai pada suatu hari, ia dikejutkan oleh panggilan suara seorang lelaki.
“Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu), taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Ali Imran: 42-43).
Sejak itu ia merasa kekuatan dan masa mudanya meninggalkan dirinya dan digantikan dengan kesucian dan kekuatan yang lebih banyak. Maryam mengetahui, ia akan memikul tanggung jawab besar.

Suatu hari, Zakaria menemukan sesuatu yang asing dan aneh pada diri maryam. Setiap kali Zakaria mengunjungi Maryam dan memasuki Mihrab, ia mendapati disana, telah terhidang makanan yang berlimpah. Padahal, ia merasa yakin tidak ada orang lain yang masuk. Dengan penuh keheranan, Zakaria bertanya. “Hai Maryam, darimana kamu peroleh rezeki ini?”
“Makanan itu dari sisi Allah,” jawab Maryam. “Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan.”

Dari kejadian itu, Zakaria merasa Allah telah mengkhususkan Maryam dengan kedudukan yang mulia yang tidak dimiliki orang lain.
Suatu saat, Jibril dengan menjelma sebagai manusia mendatangi Maryam di mihrabnya. Dalam kekagetannya, Maryam bertanya, “Apakah engkau menusia yang mengenal Allah SWT dan bertakwa kepada-Nya?. Sambil tersenyum orang itu menjawab, “Sesungguhnya aku ini utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” (QS Maryam: 19).
Maryam tetap curiga, kehadiran laki-laki itu, bagaimana pun sangat mencurigakan, apalagi ia hendak memberi anak, sementara Maryan tidak pernah disentuh seorang lelaki pun.

“Bagamana akan ada bagiku seorang anak lelaki, sementara tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan pula seorang pezina.” (QS Maryam: 20).

“Demikianlah Tuhanmu berfirman,” jawab Jibril. “Hal itu adalah mudah bagiku dan agar dapat kami menjadikannya sebagai suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” (QS Maryam: 21).

Sepeninggal Malaikat Jibril, Maryam duduk kebingungan, rasa takut menguasai dirinya, ketika ia membayangkan komentar masyarakat terhadap dirinya. “Bagaimana mungkin seorang gadis perawan bisa hamil dan melahirkan seorang anak tanpa suami?”

Waktu terus berlalu, dan perutnya pun kian membuncit. Maryam berusaha membebaskan diri dari segala beban dan tekanan jiwa. Ia menyendiri dan bersedih hati. Pikirannya kacau, ia juga tidak mau mendengarkan nasehat orang lain kecuali beribadah dan menghadapkan diri kepada Allah SWT.

Pada suatu hari, Maryam pergi ke suatu tempat yang jauh. Ia merasa sesuatu akan terjadi hari itu. Kakinya membimbingnya menuju tempat yang dipenuhi pohon kurma. Tempat itu tidak biasa dikunjungi siapapun saking jauhnya.

Di bawah pohon kurma yang tinggi besar, Maryam merasakan sakit pada perutnya. “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam: 23).

Rasa sakit melahirkan anak menimbulkan penderitaan lain yang siap menantinya. Bagaimana manusia akan menyambut anak ini? Apa yang akan mereka katakan tentangnya?. Bukankah mereka mengetahui, ia adalah wanita yang masih perawan. Apakah manusia akan membenarkan Maryam yang melahirkan anak itu tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya?

Ketika keraguan menyelimutinya, tiba-tiba anak yang baru lahir itu berkata, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu menggugurkan buah kurma yang masak untukmu, makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah, sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS Maryam: 24-26).

Maryam mengulurkan tangannya ke pohon kurma, sementara kedua matanya tidak lepas menatap anaknya, Isa. Senyum kecil menghiasi wajah Maryam, dan hilanglah kesusahan dan lenyap pula mendung kesedihan di wajah dan seluruh jiwanya. Lalu Maryam menggoyangkan pohon kurma itu sehingga buah kurma berjatuhan. Maryam makan dan minum. Kemudian memangku anaknya dengan kasih sayang.

Namun kemudian Maryam merasakan keguncangan yang hebat. Silih berganti ketenangan dan keresahan menghampirinya. Segala pikirannya tertuju pada satu hal, yaitu Isa. Namun pertanyaan-pertanyaan itu tetap menghantui dirinya.

Ketika tiba saatnya, Maryam kembali ke Baitulmaqdis, waktu menujukkan Ashar. Pasar besar yang terletak di jalan yang dilalui Maryam menuju masjid di penuhi banyak orang. Kehadiran Maryam yang membopong seorang bayi mungil segera menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di pasar itu. Mereka bertanya kepada Maryam dengan nada sumbang sembari mencibir. “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.” (QS Maryam: 27).

Mereka telah menuduh Maryam telah melakukan pelacuran. Di mata mereka, Maryam telah berbuat nista dan hina. Dengan ketabahan yang tinggi, Maryam menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. Sementara tangannya menunjuk ke arah Isa. Mereka memahami, Maryam berpuasa dari pembicaraan dan meminta kepada mereka agar bertanya langsung kepada anak itu. 

“Bagaimana kami akan bicara dengan bayi yang masih dalam ayunan?” (QS Maryam: 29).

Belum selesai mereka mengolok-olok, Isa berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada. Dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada Ibuku dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku di bangkitkan hidup kembali.” (QS Maryam: 30-33).

Kisah anak Maryam menjadi bahan pembicaraan Kota Betlehem, khususnya perkampungan Nazareth. Mereka mengganti keraguan dan buruk sangka dengan penyucian dan kecintaan terhadap anak yang diberkati dan pebuh mukjizat ini.
Sebaliknya, para pendeta Yahudi merasa akan terjadi suatu tragedi kepribadian yang akan datang kepada mereka dengan kelahiran anak Maryam. Kedatangan Almasih berarti mengembalikan manusia kepada penyembahan semata-mata kepada Allah. Ini berarti menghapus agama Yahudi yang mereka yakini.

Isa tumbuh dalam pemeliharaan Ibunya sebagaimana anak-anak kecil lainnya. Hanya saja Isa, banyak diberi mukjizat oleh Allah. Sejak kecil ia bisa memberi tahu sesama temannya tentang apa yang hendak mereka makan, ia juga mampu mengungkapkan apa yang disimpan orang-orang di rumahnya. Ia juga tampak cerdas. Kelak, setelah berusia 30 tahun, turunlah Ruhul Amin (Jibril) menyampaikan Risalah Tuhan kepada Isa. Ia menerima Al-Kitab dari Allah, sebagai kitab yang membenarkan kitab sebelumnya, yaitu Taurat dan apa yang dipelajarinya dari kitab tersebut.

Setelah Isa di angkat ke suatu tempat yang mulia, di Surga, Maryam merasa nyaman dan damai. Pasalnya, sebelumnya Maryam terus-menerus menangis karena mengira bahwa yang disalib itu adalah Isa. Sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah. “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh dan salib itu adalah orang yang serupa dengan Isa.” (QS An-Nisa: 157).

Maryam didatangi dua orang muridnya yang setia, Syam’un Ash-Shafa dan Yahya. Mereka menyampaikan pesan Isa sebelum diangkat, agar menjadi pelayan Maryam dan menyampaikan risalah dakwahnya. “Semoga Allah memberkati tugasmu dan menetapi jalan kebaikan dan mahabah,” jawab Maryam.

Semenjak itu, Maryam menjadi penolong setiap orang yang membutuhkan, di dampingi Syam’un dan Yahya, sambil memperbaharui dakwahnya kepada menusia. Ia wafat enam tahun sejak pengangkatan Isa. Ia dilindungi dengan kejernihan cinta dan wangi kebaikan. Allah melestarikan penuturan tentangnya seperti termaktub dalam surah At-Tahrim ayat 12: “Dan ingatlah, Maryam Putri Imran yang memelihara kehormatannya. Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari Roh ciptaan kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang-orang yang taat,”

Mukjizat Nabi Isa

Setiap Nabi dan Rasul pasti mempunyai kelebihan atau mendapat banyak karunia dari Allah dengan bermacam cara.
Demikian juga dengan Nabi Isa AS ia mempunyai mukjizat yang melekat pada dirinya sebagai bukti kenabian dan kerasulannya. Antara lain mukjizat berupa:
  1. Membuat Burung dari Tanah
  2. Dapat menyembuhkan orang buta
  3. Dapat menyembuhkan Penyakit Kusta
  4. Dapat Menghidupkan orang mati, dengan izin Allah
  5. Menurunkan makanan dari Langit dan sebagainya
Sumber : http://www.sufiz.com

Baca Juaga Artikel: 


LIKE HALAMAN KAMI DI FACEBOOK