Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada
kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah
berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah
berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya
masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji
secara khusus.
Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang
tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang
tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam
Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa
Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa' ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan
hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya,
dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya
Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa' : 23-24]
Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa' ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ
ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ
كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat,
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil [1], dan hamba sahaya yang kamu
miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri.” [An-Nisaa' : 36]
Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ
لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua
orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka
janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan
akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut
(29): 8] Lihat juga surat Luqman ayat 14-15.
ANJURAN BERBUAT KEPADA KEDUA ORANG TUA BAIK DAN LARANGAN DURHAKA KEPADA KEDUANYA
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua
orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu
kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut
Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang
mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang
diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak
melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).
Sedangkan 'uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak
terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh
gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata
dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci
maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku
kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua
menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya,
membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim, atau tidak memberi
nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.
KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA
1. Merupakan Amal Yang Paling Utama
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ
أَفْضَلُ؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟
قَالَ: بِرُّالْوَالِدَيْنِ، قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ
فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah
yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal
waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti
kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi
menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]
2. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا
الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ
“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah
bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada
kemurkaan orang tua” [3]
3. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya
adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengenai
kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya
bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut:
انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا
الْمَبِيْتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوْهُ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ
الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهَا الْغَارَ. فَقَالُوْا : إِنَّهُ
لاَيُنْجِيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوْا اللهَ
بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: اَللَّهُمَّ كَانَ لِي
أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ أَغْبِقُ قَبْلَ هُمَا أَهْلاً
وَ لاَ مَالاً، فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْئٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ
عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَ فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا
فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ. فَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا
أَهْلاً أَوْمَالاً، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ
اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا
غَبُوقَهُمَا. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هَذِه الصَّخْرَةِ،
فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا
“ ...Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang
berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah
gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar
runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain:
‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka
memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan
harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di
antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua
orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai isteri dan
anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke
rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku
sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari
kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku
dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu
sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku
mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku
merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak
memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu
yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku
tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku
berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan
kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan
yang baik karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’
Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit..”[4]
4. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur
Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyam-bung silaturrahimnya.” [5]
Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada
orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara
kita yang sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang
tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil,
dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan
untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, karena dekat kepada
keduanya -insya Allah- akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.
5. Akan Dimasukkan Ke Surga Ooleh Allah ‘Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan
merupakan jalan menuju Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan
mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga. Dan di antara dosa-dosa
yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat
zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak
berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan meng-hindarkannya dari
berbagai malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla dan akan
dimasukkan ke Surga.
BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA
1. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau
pun perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau sakit hati.
2. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.
3. Membentak atau menghardik orang tua.
4. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih
mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya, padahal orang
tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan
dengan penuh perhitungan.
5. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-lain.
6. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan
makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama
jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan
pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan
karena itu seorang anak harus berterima kasih dan membantu orang tua.
7. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
8. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.
9. Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian
orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti kemauan isterinya.
Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
10. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan
keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya
meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang
sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
1. Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan
kepada seseorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau
memberi kegembiraan kepada orang tua kita
2. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya
dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang tua dengan ke-pada
anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia
kepada kedua orang tua.
3. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (som-bong) apabila sudah
meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita
berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi
makan, minum, dan pakaian oleh orang tua.
4. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada
hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu
berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta
ataupun tidak.
5 . Mendo’akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do’a berikut:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”
Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus
berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya
kembali kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah
adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu
kita dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a
siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang
benar.
APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL
Maka yang harus kita lakukan adalah:
1. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha
(jujur) bila kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu
mereka masih hidup.
2. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
3. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
4. Membayarkan hutang-hutangnya.
5. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
6. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.
Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita
dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa
Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat
yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui
ibu-bapaknya.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam
Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173),
ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad
(no. 2), Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid), at-Tirmidzi (no. 1899),
al-Hakim (IV/151-152), ia menshahihkan atas syarat Muslim dan
adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh al-Albani rahimahullaah mengatakan
hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua (al-Hakim dan
adz-Dzahabi). Lihat Shahiih Adabul Mufrad (no. 2).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2272), Fathul
Baari (IV/449), Muslim (no. 2743), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5985, 5986),
Muslim (no. 2557), Abu Dawud (no. 1693), dari Shahabat Anas bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu.
Sumber:http://almanhaj.or.id/content/2123/slash/0/menggapai-ridha-allah-dengan-berbakti-kepada-orang-tua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar