Setiap orang yang
beriman pasti berharap memiliki hati bersih dan berkilau, sebab hati yang
bersih dapat memantulkan cahaya ruhaniah, kemudian menjadi penglihatan batin
(bashiratul qalbi) dalam memandang keelokan wujud Allah. Namun cahaya ruhaniah
hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang telah melampaui pergulatan ruhani.
“Bagaimana hati dapat memantulkan cahaya, padahal gambar
selain Allah terlukis dalam cermin hatinya? Atau bagaimana orang dapat
berangkat menghadap Allah, padahal hatinya masih terbelenggu oleh syahwatnya?
Atau bagaimana orang bisa antusias dapat masuk ke hadhirat Allah, padahal
hatinya belum suci dari janabah kelalaiannya? Atau bagaimana bisa berharap
dapat memahami kedalaman rahasia ruhani, padahal belum bertaubat dari semua
kesalahannya?”.
Hati seorang hamba itu sebagai tempat Allah memantulkan
cahaya-Nya, pantulan cahaya itu akan menerangi basyariah (raga) manusia. Jika
sumber cahaya itu diibaratkan matahari, maka bumi yang menerima cahaya dari
rembulan sebagai tempat pantulan cahaya matahari. Cahaya itu akan sampai ke
bumi jika tidak ada hijab berupa awan atau mendung yang menghalangi.
Hati buram
Hati yang selalu diwarnai oleh berbagai persoalan dunia, menjadi buram dan gelap. Jika hakikat dunia disebut zhulmah (gelap), maka wujud Allah diibaratkan sumber cahaya yang menerangi hati. “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” (An-Nuur: 35). Bagaimana hati bisa memantulkan cahaya Ilahi, jika masih tertutup oleh keadaan dan lukisan-lukisan dunia. Karena hati yang tertutup oleh awan dunia pasti jadi gelap gulita. Pada dasarnya, gelap dan terang itu suatu keadaan tak terpisah sekaligus tak bisa disatukan. Jika dianalogikan: Wujud gelap karena cahaya ada di baliknya, disebut terang karena cahaya beserta dengan gelap. Tetapi gelap dan terang hakikatnya satu namun tak menyatu, bisa juga dimaknai sebagai dua wujud tak terpisahkan.
Hati yang selalu diwarnai oleh berbagai persoalan dunia, menjadi buram dan gelap. Jika hakikat dunia disebut zhulmah (gelap), maka wujud Allah diibaratkan sumber cahaya yang menerangi hati. “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” (An-Nuur: 35). Bagaimana hati bisa memantulkan cahaya Ilahi, jika masih tertutup oleh keadaan dan lukisan-lukisan dunia. Karena hati yang tertutup oleh awan dunia pasti jadi gelap gulita. Pada dasarnya, gelap dan terang itu suatu keadaan tak terpisah sekaligus tak bisa disatukan. Jika dianalogikan: Wujud gelap karena cahaya ada di baliknya, disebut terang karena cahaya beserta dengan gelap. Tetapi gelap dan terang hakikatnya satu namun tak menyatu, bisa juga dimaknai sebagai dua wujud tak terpisahkan.
Tatkala hati tidak mampu melihat dengan bashiratul
qalbi (penglihatan hati), pasti ada yang menghalangi sumber cahaya
tersebut, sehingga hati tidak dapat memantulkan cahayanya. Yang menghalangi
wujud Allah ialah pandangan dan rasa kemanusiaan (basyariah) pada setiap
wujud selain-Nya. Jika hati orang yang menuju Allah (salik) ada rasa
cinta dan ambisi untuk memiliki dan menguasai sesuatu, maka rasa terhadap
sesuatu itu juga tirai atau hijab. Kendatipun sesuatu itu hakikatnya tidak ada,
tapi rasa basyariah yang mengusung sesuatu menjadi gambar dan lukisan di dalam
hati, itulah hakikat Hijab!
Belenggu syahwat
Hati yang sarat dengan lukisan dunia akan menimbulkan letupan-letupan syahwat kehidupan. Hembusan angin gairah mengobarkan api tamak, menjilat dan membakar akal. Puing-puing nafsu berserakan menjadi sampah ruhani. Asap cinta memenuhi hati, menjelma rangkaian tali-tali pengikat yang membelenggu perjalanan (menuju Allah).
Hati yang sarat dengan lukisan dunia akan menimbulkan letupan-letupan syahwat kehidupan. Hembusan angin gairah mengobarkan api tamak, menjilat dan membakar akal. Puing-puing nafsu berserakan menjadi sampah ruhani. Asap cinta memenuhi hati, menjelma rangkaian tali-tali pengikat yang membelenggu perjalanan (menuju Allah).
“Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”(Ali ‘Imran: 14).
Pada hakikatnya, fasilitas hidup yang Allah sediakan di dunia adalah tali-tali syahwat yang dapat menjerat hati. Keindahannya sebatas fatamorgana dan kenikmatannya mengukir persoalan hidup bagi orang yang berjalan menuju Allah. Persoalan demi persoalan datang silih berganti menghimpit hati dan melelahkan jiwa. Kendatipun harus dimaknai setiap persoalan sebagai ujian dan cobaan, yang semestinya tidak menghalangi perjalanan, namun tidak banyak yang mampu memahami.
Pada hakikatnya, fasilitas hidup yang Allah sediakan di dunia adalah tali-tali syahwat yang dapat menjerat hati. Keindahannya sebatas fatamorgana dan kenikmatannya mengukir persoalan hidup bagi orang yang berjalan menuju Allah. Persoalan demi persoalan datang silih berganti menghimpit hati dan melelahkan jiwa. Kendatipun harus dimaknai setiap persoalan sebagai ujian dan cobaan, yang semestinya tidak menghalangi perjalanan, namun tidak banyak yang mampu memahami.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan” (Al Anbiyaa’: 35).
Kehidupan dunia bagi orang yang beriman
adalah penjara. Maka siapa pun yang tidak mampu membebaskan diri dari penjara
tersebut, niscaya akan terbelenggu oleh syahwat rasa memiliki dan menguasai
yang berujung pada kegelisahan, seperti dihantui rasa takut kehilangan sesuatu
yang dicintai.
Kemudian, bagaimana bisa berangkat
menuju Allah jika tidak mampu melepaskan diri dari tirai syahwat yang
membelenggu. Padahal Allah sudah memberi jalan kepada hamba-hamba-Nya untuk
“berniaga ruhani”, dengan imbalan keuntungan berupa pembebasan diri (manusia)
dari belitan syahwat dan penderitaan.
“Hai orang-orang
yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan
RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu
dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah
keberuntungan yang besar” (Ash Shaff: 10-12).
Mandi ruhani
Pergualatan ruhani untuk mencapai “mahligai ilahi” adalah
sebuah perjuangan bagi orang-orang yang merindukan perjumpaan dengan Rabbnya
(baca: Allah). Namun perjuangan itu tak akan ada hasilnya, bila tidak disertai
persiapan matang.
Bekal yang harus
disiapkan untuk menuju kepada Allah antara lain adalah: Taqwa sebagai bekal,
zikir sebagai senjata, semangat sebagai kendaraan, mursyid sebagai pembimbing,
dan yang terakhir adalah saudara seiman sebagai teman seperjalanan. Persiapan
tersebut harus dirangkai dengan pengabdian melalui media basyariah (raga) dan
nafsaniah (jiwa).
Maka hati yang bersih dari berbagai kotoran dunia yang
membuat lalai, menjadi syarat penting menuju Allah. Membersihkan hati sama
dengan “mandi ruhani” (janabat), mengawalinya dengan sikap batin tidak syirik,
dilanjutkan ibadah lahiriah (amalan shalih).
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri,
(dengan cara) dia ingat nama Tuhannya (zikir), lalu dia sembahyang (hubungan
yang mesra)” (Al A’laa: 14-15).
Sikap tenang dalam menghadapi berbagai persoalan hidup,
adalah tanda dari orang yang hati dan jiwanya sudah bersih.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku” (Al Fajr: 27-30).
Ampunan
Harapan setiap orang yang menuju Allah adalah kemampuan memahami ilmu-ilmu-Nya yang menjadi pelita perjalanan. Karena ilmu itu sebagai jembatan untuk mencapai amal ibadah yang sempurna. Amal ibadah juga bisa jadi jembatan (dengan izin-Nya) untuk meraih ilmu-ilmu yang ada pada rahasia Allah (laduni). Namun untuk menyentuh rahasia ruhani yang halus dan penuh metafor (kinayah), harus melalui tahapan pembersihan hati dan jiwa dari maksiat lahir maupun batin (taubatan nasuha).
Harapan setiap orang yang menuju Allah adalah kemampuan memahami ilmu-ilmu-Nya yang menjadi pelita perjalanan. Karena ilmu itu sebagai jembatan untuk mencapai amal ibadah yang sempurna. Amal ibadah juga bisa jadi jembatan (dengan izin-Nya) untuk meraih ilmu-ilmu yang ada pada rahasia Allah (laduni). Namun untuk menyentuh rahasia ruhani yang halus dan penuh metafor (kinayah), harus melalui tahapan pembersihan hati dan jiwa dari maksiat lahir maupun batin (taubatan nasuha).
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi
orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (An Nisaa’: 17).
Tak ada satu pun manusia yang terlepas dari dosa masa
lalu, juga tak ada jaminan terbebas dari kesalahan-kesalahan yang akan datang,
kecuali Nabi Besar Muhammad saw. yang sudah jelas Ma’sum(terpelihara). Namun
Allah tetap membuka pintu taubat untuk setiap dosa hamba-Nya, kecuali dosa
syirik.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar” (An Nisaa’: 48).
Ampunan Allah akan mengalir laksana sumber air yang tak
ada habisnya, tentu ditujukan kepada orang yang bersungguh-sungguh membersihkan
hati dari sampah dunia yang membuat lupa pada Allah.
“Hai orang-orang
yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari
ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia;
sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami
cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”(At Tahrim: 8).
Proses pertaubatan dilalui dengan rangkaian: menyesali,
berhenti dan berjanji untuk tidak mengulanginya, kemudian dilanjutkan dengan
melaksanakan ibadah ritual, baik yang fardhu (wajib) maupun yang nawafil
(sunah). Jika proses pertaubatan telah dilalui, maka tidak menutup kemungkinan
Allah akan membukakan rahasia-rahasia ruhaniah-Nya yang penuh metafor. Tak ada
yang dapat menyentuh wilayah ruhani, kecuali orang-orang yang telah dibersihkan
hatinya. Dengan demikian bisa pula dimaknai, kebersihan hati merupakan kunci
untuk membuka gerbang alam ruhani.
Hijab
Berjalan menuju Allah tidak sama dengan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, seperti pergi ibadah haji misalnya. Jika berjalan menuju rumah Allah (Ka’bah) disebut “haji syari’at”, maka berjalan menuju Allah bisa disebut “haji hakikat”. “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Al Kahfi: 110).
Berjalan menuju Allah tidak sama dengan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, seperti pergi ibadah haji misalnya. Jika berjalan menuju rumah Allah (Ka’bah) disebut “haji syari’at”, maka berjalan menuju Allah bisa disebut “haji hakikat”. “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Al Kahfi: 110).
Berjalan menuju Allah butuh persiapan yang baik dan
benar, tidak cukup hanya berbekal semangat yang membara, tanpa persiapan lahir
dan batin. Bila persiapan yang dimiliki tidak optimal, maka tidak menutup
kemungkinan akan terjebak di rimba nafsu yang akhirnya menjadi hijab antara
dirinya dengan Allah. Meskipun pada hakikatnya Allah itu tidak terhijab oleh
sesuatu apapun, bahkan Allah sendiri yang membuat hijab untuk menutupi diri-Nya
dengan wujud yang fana (tidak ada) ” Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
Allah” (Al Qashash: 88).
Persoalan hijab pada dasarnya hanya masalah rasa dan
pandangan manusia dalam memaknai sesuatu. Akan ada wujud hijab, bila dipandang
secara hissy (materi). Tetapi hijab itu jadi tidak ada, ketika dilihat secara
maknawi. Karena pada hakikatnya selain Allah itu tidak ada.
“Setiap sesuatu itu binasa (fana) dan tetap kekal Dzat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (Ar Rahmaan:
26-27).
Ibnu ‘Athoillah menjelaskan di dalam Hikamnya: “Di
antara bukti-bukti yang menunjukkan kepadamu adanya kekuasaan Allah yang luar
biasa, ialah dapat menghijabimu dari melihat kepada-Nya dengan hijab yang tidak
ada wujud sertanya”.
Beliau juga merangkai ketakjuban dalam untaian kalimat
indah berikut ini:
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia yang tampak nyata dengan segala sesuatu.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia yang terlihat di setiap sesuatu.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia yang tampak pada tiap-tiap sesuatu.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia yang nyata sebelum adanya tiap-tiap sesuatu.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia lebih jelas dari segala sesuatu apapun.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia Esa, tidak ada sesuatu apapun bersama-Nya.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu.
·
Bagaimana mungkin dapat dibayangkan Allah terhijab oleh
sesuatu, padahal andaikan tak ada Dia, niscaya tak akan ada segala sesuatu.
Bila Allah hendak memberi petunjuk dan membuka hijab
kepada seorang hamba tentang diri-Nya, maka Ia menutup pandangan hamba dengan
tirai kesucian-Nya, sehingga hamba itu tidak mampu melihat sesuatu selain
wujud-Nya. Karena pada hakikatnya wujud akwan (keadaan) itu bersifat adamiyyah
(sesuatu yang tidak ada). Sebagaimana pula kata pujangga arab: “Camkanlah,
bahwa segala sesuatu selain Allah itu palsu belaka. Dan tiap-tiap nikmat
kesenangan dunia itu, pasti akan rusak lenyap”.
Tak ada hijab
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada hakikatnya Allah itu tidak terhijab oleh sesuatu apapun, sebab keberadaan sesuatu yang bersifat adamiyah tidak mungkin dapat menghijabi Allah. Bahkan sebaliknya, makhluk yang bernama manusia itulah yang terhijab, sehingga tidak dapat melihat adanya Allah. Sebab sekiranya ada sesuatu yang mampu menghijabi Allah, berarti sesuatu itu dapat menutupi wujud Allah. Jika ada yang mampu menutupi-Nya, berarti wujud Allah dapat terkurung oleh sesuatu yang mengurung-Nya, maka sesuatu yang terkurung, sudah pasti dapat dikuasai oleh yang mengurung. Maha Suci Allah dari sangkaan orang-orang yang jahil (bodoh), padahal Allah yang berkuasa atas semua makhluk-Nya.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada hakikatnya Allah itu tidak terhijab oleh sesuatu apapun, sebab keberadaan sesuatu yang bersifat adamiyah tidak mungkin dapat menghijabi Allah. Bahkan sebaliknya, makhluk yang bernama manusia itulah yang terhijab, sehingga tidak dapat melihat adanya Allah. Sebab sekiranya ada sesuatu yang mampu menghijabi Allah, berarti sesuatu itu dapat menutupi wujud Allah. Jika ada yang mampu menutupi-Nya, berarti wujud Allah dapat terkurung oleh sesuatu yang mengurung-Nya, maka sesuatu yang terkurung, sudah pasti dapat dikuasai oleh yang mengurung. Maha Suci Allah dari sangkaan orang-orang yang jahil (bodoh), padahal Allah yang berkuasa atas semua makhluk-Nya.
Para ‘arifin billah berkata: “Segala sesuatu selain
Allah pada hakikatnya tidak ada”. Maksudnya, keberadaan Allah tidak
dapat disamakan dengan sesuatu apapun. Wujud sesuatu selain Allah tak ubahnya
wujud bayangan yang selalu bergantung kepada yang memberi bayangan. Melihat
bayangan tanpa mengetahui sumber bayangan, berarti terhijab oleh sesuatu yang
hakikatnya tidak ada.
Wallahu alam bisowab…
Semoga bermanfaat buat diriku dan sahibku semuanya…
Selamat beraktifitas berselimut dzikrullah…
Semoga bermanfaat buat diriku dan sahibku semuanya…
Selamat beraktifitas berselimut dzikrullah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar