Pondok Pesantren Awaluddin Kuo
Bagian ke IV
Memang ini adalah suatu masalah yang agak
berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman
orang-orang awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam
membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah.
Meskipun demikian, “persamaan” yang maujud di antara manusia dan Allah
menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu,
yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari
spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa
mencintai Allah karena “persamaan” yang disyaratkan di dalam sabda Nabi: “Allah
menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri.”
Menampak Allah
Semua muslim mengaku percaya bahwa menampak
Allah adalah puncak kebahagiaan manusia, karena hal ini dinyatakan dalam
syariah. Tetapi bagi banyak orang hal ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir
belaka yang tidak membangkitkan perasaan di dalam hati. Hal ini bersifat alami
saja, karena bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia
ketahui? Kami akan berusaha untuk menunjukkan secara ringkas, kenapa menampak
Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia.
Pertama sekali, semua fakultas manusia
memiliki fungsinya sendiri yang ingin dipuasi. Masing-masing punya kebaikannya
sendiri, mulai dari nafsu badani yang paling rendah sampai bentuk tertinggi
dari pemahaman intelektual. Tetapi suatu upaya mental dalam bentuk rendahnya
sekalipun masih memberikan kesenangan yang lebih besar daripada kepuasan nafsu
jasmaniah. Jadi, jika seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan catur,
ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Dan makin tinggi
pengetahuan kita makin besarlah kegembiraankita akan dia. Misalnya, kita akan
lebih merasa senang mengetahui rahasia-rahasia seorang raja daripada
rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa Allah adalah obyek pengetahuan
yang paling tinggi, maka pengetahuan tentangNya pasti akan memberikan
kesenangan yang lebih besar ketimbang yang lain. Orang yang mengenal Allah, di
dunia ini sekalipun, seakan-akan merasa telah berada di surga “yang luasnya
seluas langit dan bumi”; surga yang buah-buahnya sedemikian nikmat, sehingga
tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang
tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.
Tetapi nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih
kecil daripada nikmatnya penglihatan, persis seperti kesenangan kita di dalam
melamunkan orang-orang yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan
yang diberikan oleh penglihatan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di
dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukankita dengan
ihwal inderawi, menciptakan suatu tirai yang menghalangi kita dari menampak
Allah, meskipun hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh beberapa pengethuan
tentangNya. Karena alasan inilah, Allah berfirman kepada Musa di Bukit Sinai:
“Engkau tidak akan bisa melihatKu.”
Baca Juga :
1. Cinta kepada Allah bagian ke I
2. Cinta kepada Allah bagian ke II
3. Cinta kepada Allah bagian ke III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar